Naluri dalam Kekerasan
Ada
kalimat filsafat yang terkenal dari tokoh multidimensional Sam Ratulangi
"Si Tou Timou Tumou Tou" artinya "Manusia baru dapat disebut
sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia" itu tertulis di
Monumen dan Makam Sam Ratulangi di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Pepatah
ini mengingatkan kita untuk bersikap baik dan bermanusiawi terhadap sesama.
Bermanusiawi dengan bersikap baik tanpa menyakiti dan tidak merendahkan atau
mengambil hak seseorang sebagai manusia.
Tindakan
tidak manusiawi saling bergandengan dengan kata kekerasan dan kekerasan selalu
menjadi buah bibir dalam berita kriminalitas. Semua berita tidak jauh dari
pembunuhan, pengeroyokan, maupun tindakan kekerasan lainnya. Padahal jika
diingat kalimat filosofis Sam Ratulangi, manusia baru dikatakan manusia jika
bermanusiawi dan realita yang ada sekarang banyak manusia yang bukan manusia.
Kekerasan
bukan hanya pembunuhan atau pengeroyokan yang berhubungan dengan fisik, saat
kita berkomentar tidak baik di sosial media sampai orang yang bersangkutan
merasa tersinggung pun juga termasuk kekerasan. Budaya kekerasan selalu melekat
dengan kehidupan kita, tanpa sadar kita misuh-misuh soal kekerasan di saat yang
sama juga melakukannya. Belum lama ini heboh dengan berita mengenai beberapa public
figure yang mendapat kekerasan verbal dari perempuan Indonesia, pertama
kasusnya pangeran Brunei, Mateen yang mendapat komentar pelecehan dari netizen
perempuan sampai sosial media kekasih Mateen harus di privat karena menuai
komentar caci maki terhadapnya. kedua mengenai drama korea yang sedang
digandrungi yaitu The World of Married , aktor korea Han Soo Hee
mendapat perundungan verbal dan fisik yang dialaminya karena memerankan sebagai
tokoh pelakor, dan terakhir Reemar artis aplikasi Tik Tok asal Philipina yang
dianggap sebagai penghancur hubungan sepasang kekasih, karena videonya banyak
disukai para kaum adam. Kekerasan bukan lagi soal pembunuhan dengan senjata
tajam, saat sebuah ucapan atau kata-katapun dapat mempengaruhi kesehatan jiwa
seseorang yang dapat mempengaruhi untuk melakukan bunuh diri.
Joachim
Bauer, Ilmuwan yang mempelajari teori naluri agresif Sigmund Freud menyebut
bahwa sifat bawaan manusia untuk terlibat dalam kekerasan atau brutal dapat
dipengaruhi sisi neurologis manusia. Otak manusia memiliki sistem reward yang
akan terangsang apabila kita melakukan kekerasan, Rata-rata orang yang sehat
tidak ada dorongan untuk melakukan kekerasan. Bauer berkata “Sistem yang
relevan dari otak tidak menyebabkan rangsang, apa yang memungkinkan sistem ini
menghasilkan rangsang adalah ketika manusia berhasil memperoleh kasih sayang,
pengakuan dan penghargaan.”
Pendapat
Bauer mengenai rangsangan sistem reward pada otak yang membentuk tindakan
kekerasan sejalan dengan keseharian kita, Ketika melihat anak-anak yang
dimarahi oleh orang tuanya hingga dipukuli, dicubit, atau dijewer telinganya
karena nakal dan bahkan mungkin dari kita juga pernah merasakannya. Saat
dipukuli pasti anak-anak akan berpikiran bahwa orang tua sangat jahat, tetapi
orang tua selalu bilang “ini tuh bentuk kasih sayang agar kamu tidak melakukan
hal seperti itu lagi,” kata-kata ini menjadikan pewajaran bagi orang tua bahwa kekerasan
adalah bentuk kasih sayang.
Kasih
sayang berupa kekerasan juga ditemukan dalam hubungan seks, tak hanya fisik
berupa pukulan, kekerasan verbal pun didambakan bagi pasangan seks
dominan-submisif. Kekerasan BDSM ini justru dijadikan candu atau sesuatu yang didambakan
dan ditungu-tunggu dalam menghidupi ranjang seks seperti dalam Film Fifty
Shades Of Grey. Budaya memukul anak dan BDSM sebagai bentuk kasih sayang
masih berlaku di zaman modern, tak ada bedanya budaya kita dengan suku Indian
Amerika primitif yang tinggal di perbatasan Brazil atau Venezuela. Suku
Yanomamo yang dikenal dengan masyarakat paling agresif, paling berorientasi
laki-laki dan paling suka perang.
Perempuan
Yanomamo juga mendambakan kekerasan dari suaminya, Marvin Harris dalam bukunya Sapi,
Babi, Perang dan Tukang Sihir Chagnon menyatakan bahwa perempuan Yanomamo
berharap dianiaya oleh suaminya dan bahwa perempuan itu menakar status mereka
sebagai istri melalui frekuensi pukulan yang diberikan oleh si suami. Para istri
tersebut saling bercerita sambil membanding-bandingkan luka yang ia dapat dari
sang suami, salah satu dari mereka berkata betapa si suami perempuan yang
satunya lagi pasti betul-betul peduli kepada istrinya karena begitu sering
dipukul.
Cara
favorit yang dilakukan para suami yanomamo saat merisak istrinya adalah dengan
menyentakkan bilah bambu yang dipakai perempuan melalui daun telinga mereka
yang ditindik. Suami yang kesal akan menyentak sangat keras hingga daun telinga
perempuan itu robek dan bahkan suami sampai ada yang memotong kedua belah daun
telinga istri saat curiga dengan istrinya yang berzina atau seorang suami lain
mencongkel sepotong daging dari lengan istrinya dengan kapak karena tidak
melayani tamunya dengan baik.
Bagi
perempuan Yanomamo sebuah keprihatinan jika ditubuhnya tak ada bekas luka dan
cedera, mereka berpikir bahwa laki-laki yang berhubungan dengannya tidak
betul-betul peduli kepadanya dan sulit bagi mereka untuk membayangkan di dunia
ini tidak ada suami yang tidak brutal. Selain bentuk kasih sayang yang
didambakan oleh perempuan Yanomamo dari tindak kekerasan, Laki-laki Yanomamo
melakukan kekerasan terhadap para istrinya juga didorong untuk mendapatkan
“citra” atau pengakuan dalam diri, di mana dalam suku Yanomamo sendiri masih
kental dengan budaya perang dan chauvinisme laki-laki. Laki-laki Yanomamo akan
merasa paling hebat dan dihargai dengan bertindak kasar dan brutal terhadap perempuan.
Budaya
tindakan kekerasan juga terjadi pada suku di Swedia dalam film Midsommar,
Ketika salah satu anggota suku sudah berumur 80 tahun maka sudah habis masa hidupnya
dan mereka harus terjun dari tebing yang tinggi sampai ia mati. Jika orang
tersebut masih bisa bernapas, itu menjadi sebuah kesialan bagi suku tersebut. Maka
hal yang harus dilakukan adalah dengan memukulnya dengan palu yang besar hingga
kepala orang itu sampai hancur dan benar-benar mati. Mereka menyerahkan hidup
mereka sebagai isyarat adanya siklus lingkaran kehidupan, mereka berpikir mati
dengan sekarat dapat merusak jiwa dan hal itu sangat memalukan. Budaya
kekerasan tersebut dijadikan simbol sukacita dan penghargaan bagi mereka dengan
mewarisi nama orang yang meninggal kepada janin yang sedang dalam kandungan.
Budaya
kekerasan yang terbentuk di masyarakat primitif atau modern sekalipun timbul
dari adanya rasa keinginan memperoleh kasih sayang, pengakuan dan penghargaan
yang mempengaruhi sistem reward pada otak kita. Tindakan kekerasan juga bentuk
dari agresi, di mana Sigmund Freud berasumsi bahwa kita memang memiliki naluri
untuk bertindak agresif. Meski Freud mengakui bahwa agresi dapat dikontrol,
tetapi dia juga berpendapat bahwa agresi tidak bisa dieliminasi karena agresi
merupakan sifat alamiah manusia. Percikan kimia positif yang dihasilkan otak
menyebabkan seseorang ingin diakui keberadaanya. Hal ini tidak selalu mendorong
hubungan interpersonal yang baik, justru bisa jadi malah sebaliknya.
Tindakan
kekerasan tidak dapat dipukul rata mana yang menjadi standarnya, peradaban,
budaya dan norma sekitar menentukan mana yang disebut kekerasan mana yang
bukan. Bagi suku Yanomamo budaya kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk
kasih sayang, tapi bagi kita budaya tersebut merupakan kekerasan yang bisa
dituntut hukuman dan dipertanggungjawabkan dengan Undang-Undang. Begitupun
kebudayaan siklus lingkaran hidup suku di Swedia yang masa hidupnya ditentukan
oleh adat, hal itu bertentangan bagi kita yang memiliki hukum Hak Asasi Manusia
atas Hak hidupnya. Walau begitu bukan berarti budaya, hukum, atau peradaban
merupakan suatu pewajaran bagi kekerasan yang terjadi. Kekerasan tetaplah
menjadi tindakan tidak manusiawi baik berupa fisik ataupun non fisik.
- Oleh Dina Aulia, Pendidikan Masyarakat UNJ 2018